Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia
Sampai tahun
2009 bangsa indonesia sudah sepuluh kali pemilihan umum diselenggarakan, yaitu
dari tahun 1955, 1971,1977, 1982, 1992, 1997, 2004 dan terakhir 2009. semua
pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum,
melainkan berlangsung didalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan
umum tersebut. Dari pemilu yang telah dilaksanakan juga dapat diketahui adanya
upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1. Zaman Demokrasi
Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh
kabinet Baharuddin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara
dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan
September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan
Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Dalam
pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada
pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan
intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27
partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat
diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah
selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU
ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait
dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah
pada bulan November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden
Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10 buah saja. Di zaman Demokrasi
Terpimpin tidak diadakan pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi
Pancasila (1965-1998)
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi
Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat menaruh harapan untuk dapat mendirikan
suatu sistem politik yang demokrati dan stabil. Usaha yang dilakukan untuk
mencapai harapan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang
membicarakan tentang sistem distrik yang masih baru bagi bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar
tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik
secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa
berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik.
Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik
dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya,
terutama di bidang ekonomi.
Karena
gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden
Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara
partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan
Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar).
Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam
perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
4 . Zaman
Reformasi (1998- 2009)
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu
DPD ( dewan perwakilan daerah ). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan
Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi untuk setiap propinsi).
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system proposional dengan daftar
terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada
calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi.
Tujuan Pemilu
Tujuan Pemilu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar